Indonesia adalah salah satu negara yang dilalui oleh jalur Cincin Api Pasifik sehingga termasuk paling rawan gempa . Namun, bagaimanakah kesiapan Indonesia dalam penanggulangan bencana inklusif dan penyandang disabilitas?

Kondisi korban gempa dengan disabilitas di Indonesia
Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti talkshow yang diselenggarakan oleh KBR dengan tajuk "Penanggulangan Bencana Inklusif Bagi OPYMK dan Penyandang Disabilitas". Talkshow tersebut membahas tuntas tentang bagaimana cara penanggulangan bencana inklusif.
Pembicara yang hadir adalah:
- Drs. Pangarso Suryotomo selaku Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB dan
- Bejo Riyanto selaku Ketua Konsorsium Peduli Disabilitas dan Kusta (PELITA), Disabilitas Terdampak Bencana.
Drs. Pangarso Suryotomo menyatakan bahwa Indonesia memiliki sangat banyak titik yang berpotensi gempa. Setidaknya tersebar di 47.000 desa dan jumlah ini belum ditambah daerah dengan gunung merapi.
Setiap bencana dapat menyebabkan disabilitas baru, contohnya 156 orang disabilitas baru di gempa 2016. Tidak hanya itu, disabilitas yang ada dapat berupa double disability dan triple disability, baik penyandang disabilitas baru maupun yang sebelumnya sudah menyandang disabilitas.
Untuk itu, penanganan untuk disabilitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu bagaimana penyandang disabilitas menghadapi bencana dan bagaimana penanganan terhadap disabilitas baru.
3 hal yang harus terpenuhi ketika ada bencana
Sejak 2014, BNPB sebagai institusi pemerintah yang bergerak di bidang penanggulangan terhadap bencana telah membuat PERKA No.14 tahun 2014 untuk memastikan 3 (hal) yang harus terpenuhi untuk penyandang disabilitas ketika mengalami bencana:
- Pertolongan, diberi prioritas
- Partisipasi, sebagai subyek bukan hanya obyek. Mendekati disabilitas baru.
- Perlindungan
Drs. Pangarso menyatakan bahwa masalah penanganan bencana bagi disabilitas yang paling utama adalah data. Karena kesulitan memperoleh data, Pemerintah tidak memiliki data terkini tentang penyandang disabilitas. Ini menjadi peran penting teman-teman penyandang disabilitas dalam penanganan bencana.
Beberapa organisasi peduli disabilitas yang disebutkan dalam talkshow ini adalah Difabel Siaga Bencana (DIFAGANA) dan Konsorsium Peduli Disabilitas dan Kusta (PELITA).
Bapak Bejo Riyanto sebagai ketua Pelita menambahkan bahwa berbeda dengan penyandang disabilitas, khusus untuk OPYMK (orang yang pernah mengalami kusta), masyarakat setempat kurang dapat menerima dengan baik, sehingga butuh sosialisasi yang lebih lagi.
Mitigasi bencana
Cara-cara mitigasi bencana untuk disabilitas disampaikan dari pemerintah melalui organisasi-organisasi peduli disabilitas dan melalui para relawan.
Pemerintah juga mengamanatkan setiap daerah untuk membuat wadah untuk penyandung disabilitas. Contohnya adalah LIDI di jawa tengah
Organisasi tersebut memiliki mentor dan fasilitator yang akan mempermudah komunikasi dengan para penyandang disabilitas dan OPYMK.
Pentingnya sosialisasi mitigasi bencana untuk OPYMK dan penyandang disabilitas sangat tinggi karena mereka, keluarga, dan lingkungan terdekat berpengaruh 96% terhadap keselamatan ketika terjadi bencana. Peran petugas hanya 4%.
Selain itu, Desa Tanggap Bencana yang dibentuk BNPB, pemerintah, relawan, lembaga usaha, maupun perorangan juga semakin diperluas dan ditingkatkan kompetensinya.
Sebagai penutup, pembicara menekankan kepada kita semua untuk selalu waspada. Bencana ini sebetulnya berulang--sudah pernah terjadi sebelumnya, tetapi tidak kita ketahui kapan akan terjadi lagi. Ia datang ketika kita tidak siap.
Seperti kisah bapak Bejo Riyanto yang tidak pernah mengunci pintu rumahnya karena takut terjadi bencana, tapi justru mengunci pintu rumah di hari terjadinya gempa.
Thanks so much for following along! Have a wonderful day!
Leave a Reply